Pendidikanantikorupsi.org. Senin, 09 Desember 2024. Ketua Majelis Hakim Muhammad Kasim, membuka sidang perkara korupsi pemotongan biaya hidup Program Indonesia Pintar (PIP) mahasiswa tahun 2020–2023 di ruang Cakra 6 Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Medan.
Terdakwa Muhammad Sadri selaku Ketua Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Al-Maksum Langkat, divonis 1 tahun penjara. Majelis Hakim menyatakan perbuatan Sadri telah terbukti bersalah melanggar dakwaan pertama subsidair Jaksa Penuntut Umum (JPU). Adapun dakwaan pertama subsidair yang dimaksud tersebut, yaitu Pasal 3 Jo. Pasal 18 Undang-Undang (UU) No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Selain pidana penjara, Sadri juga dihukum untuk membayar denda sebesar Rp100 juta, dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, maka diganti (subsidair) dengan pidana kurungan selama 1 bulan.
Kemudian dari total kerugian keuangan negara sebanyak Rp8.151.800.000 (Rp8,1 miliar), Majelis Hakim menyebutkan dalam putusannya bahwasanya Sadri telah menikmati uang sebesar Rp1.990.525.000 (Rp1,9 miliar). Oleh karena itu, Majelis Hakim membebankan kepada Sadri untuk membayar UP sebanyak Rp1,9 miliar. Namun, Sadri telah mengembalikannya sebesar Rp1.659.850.000 (Rp1,6 miliar lebih) ke rekening masing-masing mahasiswa dan terdapat sisa UP yang harus Sadri bayarkan senilai Rp249.675.000 (Rp249 juta).
Dengan ketentuan apabila dalam waktu 1 bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap (inkracht) terdakwa tidak sanggup membayarnya, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi UP tersebut. Jika terdakwa tidak memiliki harta benda yang mencukupi untuk menutupi UP tersebut, maka diganti dengan pidana penjara selama 6 bulan.
Menurut Majelis Hakim hal-hal yang memberatkan perbuatan terdakwa karena Sadri tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan korupsi. Sementara hal-hal yang meringankan ialah Sadri belum pernah dihukum, ia merupakan tunlang punggung keluarga, bersikap sopan di persidangan dan koperatif saat pemeriksaan.
Untuk diketahui, sekitar Rp6 Miliar uang tersebut diperoleh dari pungutan mahasiswa yang digunakan untuk membayar gaji staf dan dosen, membeli sebidang tanah ganti rugi eks HGU PTPN 2, membangun ruang kelas, membayar operasional kampus, membeli 3 buah laptop utk yayasan. Kemudian, sekitar Rp1,9 Miliar tersisa di kas kampus dipergunakan untuk pembayaran operasional kampus. Hal tersebut di ucapkan oleh Majelis Hakim ketika membacakan putusan.
Perbuatan ini dilakukan Sadri tidak dengan sendirinya, melainkan bersama-sama dengan Ahmad Julham (Almarhum) dari pihak yayasan.
Majelis Hakim mengatakan bahwasanya dalam putusan ini dinilai berdasarkan aspek yuridis, sosiologis, filsafat pemidanaan. Oleh karena itu, berdasarkan unsur-unsur sebagaimana dalam dakwaan JPU, Majelis Hakim menilai terdakwa telah menyalahgunakan kewenangan, kesempatan sebagai Ketua STIP yang menyebabkan kerugian keuangan negara.
Usai membacakan membacakan putusan, Majelis Hakim bertanya kepada terdakwa terkait sikapnya terhadap putusan tersebut. Lantas Sadri mengambil sikap menerima sedangkan JPU berpikir-pikir.