Penulis : Farhan & Jamaluddin
(Pengabdi SAHdaR)
Peradilan yang terbuka untuk umum adalah prinsip fundamental dalam sistem hukum Indonesia, seperti yang diamanatkan dalam Pasal 153 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Asas ini memungkinkan setiap warga negara untuk mengikuti dan memantau jalannya persidangan, yang merupakan hak dasar dalam mewujudkan transparansi dan keadilan. Namun, tantangan dan hambatan sering kali muncul dalam praktiknya, yang berpotensi mengurangi efektivitas asas keterbukaan ini.
Pengawasan dan pemantauan sidang oleh masyarakat merupakan elemen penting dalam menjaga integritas dan kredibilitas pengadilan. Ini bukan hanya tentang memastikan bahwa lembaga peradilan menjalankan tugasnya dengan benar, tetapi juga tentang memberikan jaminan kepada publik bahwa keadilan ditegakkan dengan transparan dan adil. Keterlibatan aktif masyarakat dalam proses ini dapat memperkuat fungsi pengadilan sebagai pilar demokrasi.
Sayangnya, pengalaman langsung penulis saat melihat pelaksaan sidang di Pengadilan Negeri Medan, khususnya dalam sidang Pidana Khusus Tindak Pidana Korupsi, menunjukkan adanya kesenjangan antara prinsip dan praktik. Kejadian dimana hakim meminta penghapusan materi dokumentasi yang penulis ambil dengan memerintahkan security untuk mengeluarkan penulis dari ruang sidang menunjukkan perlunya revisi terhadap kebijakan dan praktik pengadilan yang menghambat prinsip keterbukaan. Diketahui peristiwa ini ternyata tidak hanya terjadi kepada penulis, namun beberapa jurnalis yang sedang mengikuti persidangan tersebut juga turut di perintahkan untuk keluar dari ruangan sidang tersebut. Tentu hal ini menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana pengadilan sebenanrya harus berinteraksi dengan masyarakat dan media dalam konteks asas keterbukaan. Meskipun Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers memberikan kerangka kerja untuk melindungi kebebasan pers, fokus utama dalam konteks ini adalah bagaimana asas keterbukaan pengadilan dapat diperkuat, tidak hanya untuk pers, tetapi lebih luas lagi untuk seluruh masyarakat.
Bila ditelisik Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), menegaskan larangan memfoto, merekam, dan meliput persidangan tanpa izin Ketua Pengadilan akan memperparah mafia peradilan yang selama ini dalam banyak laporan sangat banyak ditemukan. Hal ini juga bertentangan dengan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers yang menjamin kerja-kerja jurnalistik dalam memperoleh informasi dan menyebarluaskannya kepada masyarakat. Dengan adanya aturan ini menghambat peran masyarakat ataupun pers dalam pengawasan dan pemantauan persidangan, yang seharusnya Majelis Hakim tidak perlu anti pati atau menganggap pengambilan dokumentasi seperti foto dan video dalam persidangan sebagai suatu hal yang dapat mengganggu, selagi dalam pengambilan dokumentasi tidak menimbulkan suara ataupun cahaya yang dapat menganggu konsentrasai majelis, jaksa, atau siapapun yang berada dalam persidangan.
Ringkasnya dapat dikatakan setiap persidangan di pengadilan terbuka untuk umum kecuali yang di tentukan tertutup oleh undang-undang. Hal ini bertujuan agar semua persidangan pengadilan jelas, terang dilihat dan diketahui masyarakat. Akan tetapi meskipun masyarakat di perbolehkan menghadiri persidangan pengadilan, masyarakat jangan sampai mengganggu ketertiban jalannya persidangan. Prinsip ini tertuang dalam Pasal 153 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Bila melihat dari kacamata masyarakat yang mengikuti persidangan, sebenarnya ada beberapa langkah yang dapat diambil untuk mencegah hal yang serupa terulang kembali, pertama memperjelas aturan mengenai akses publik dalam mengikuti sidang, termasuk pengambilan dokumentasi, untuk memastikan bahwa prinsip keterbukaan pengadilan dipahami dan dihormati oleh semua pihak, mengingat tidak ada aturan ataun pun informasi larangan tentang pendokumentasian sidang di dalam ruang sidang. Kedua menyediakan fasilitasi Akses Informasi, untuk meningkatkan transparansi pengadilan melalui pemanfaatan teknologi informasi, seperti penyiaran langsung sidang atau menyediakan akses rekaman sidang untuk publik melalui kanal persidangan yang disediakan apabila memang kehadiran dari jurnalis dan masyarakat yang melihat persidangan dan pengambilan dokumentasi sidang dipandang mengganggun jalannya persidangan.
Sebenarnya kerjasama antara pihak pengadilan negeri dengan masyarakat sangat diperlukan. Dimana keterbukaan dalam persidangan harus didorong agar menjadikan putusan pengadilan yang benar-benar menjunjung tinggi nilai keadilan. Di sisi lain, peran masyarakat juga harus proaktif dalam pengawasan dan pemantauan peradilan sehingga terdapat peningkatan dalam hal transparansi dan kredibilitas di pengadilan itu sendiri. Kerjasama ini adalah langkah penting yang dibutuhkan untuk mengatasi permasalahan yang selama ini menjadi momok bagi pengawasan dan pemantau pengadilan. Dengan bertindak bersama, masyarakat dan pengadilan akan menciptakan kemaslahatan umat dimana masyarakat tidak takut untuk terlibat dalam pengawasan dan pematauan, pengadilan juga mendapatkan tingkat kepercayaan publik dan putusan yang dihasilkan dijalankan sesuai dengan tujuan menegakkan dan mewujudkan keadilan.
Memastikan bahwa sidang-sidang pengadilan terbuka untuk umum dan dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat adalah langkah penting dalam membangun sistem peradilan yang transparan, adil, dan dapat dipercaya.