Oleh : Ibrahim dan Hidayat Chaniago
(Peneliti di SAHdaR Medan)
Sebagai negara yang kaya akan keanekaragaman hayati, dan juga merupakan negara maritim, yang sebagian besar bentang alamnya merupakan ekosistem perairan, Indonesia menghadapi tantangan yang semakin meningkat dalam menjaga ekosistemnya yang rapuh.
Salah satu isu yang terus membara adalah deforestasi hutan yang merusak habitat alami dan menyebabkan kerugian ekologis yang tak terhitung jumlahnya. Sebut saja informasi terbaru yang dipublikasikan oleh Kejaksaan Agung menyebutkan kerugian negara akibat Izin Usaha Penambangan timah telah merugikan negara Rp 271 Miliar. Lain dari itu saat ini Kejaksaan Agung sedang berusaha untuk menghitung dampak kerugian ekologis akibat permasalahan dari izin usaha penambangan timah tersebut.
Sebagai masyarakat, kita seringkali disuguhkan dengan isu-isu lingkungan dengan lensa yang unik. Deforestasi tidak hanya merusak lingkungan hidup, tetapi juga menciptakan lingkungan yang rentan terhadap praktik-praktik korupsi dan eksploitasi sumber daya alam yang tidak berkelanjutan. Oleh karena itu, keputusan MUI ini menandai langkah awal yang signifikan dalam membangun kesadaran akan pentingnya perlindungan lingkungan dalam kerangka moral dan agama sebagai pembentuk dan upaya mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat.
Oleh karenanya sudah tepat keputusan Majelis Ulama Indonesia (MUI) lewat Fatwa MUI Nomor 86 Tahun 2023 tentang Hukum Pengendalian Perubahan Iklim Global, yang mana salah satunya berisi himbauan untuk mengharamkan sebagai macam tindakan yang menyebabkan kerusakan alam dan berdampak pada krisis iklim, lebih lanjut mengharamkan segala bentuk sifat perbuatan deforestasi yang merugikan telah memberikan harapan baru kepada publik, namun juga menimbulkan pertanyaan penting tentang bagaimana kita, sebagai masyarakat, dapat meresponsnya dengan cara yang paling efektif.
Sifat dari fatwa yang disusun oleh MUI ini kiranya sejalan dan memiliki semangat yang sama sebagaimana yang dirilis pada tahun 2015, oleh Paus Fransiskus mengajukan panggilan kuat untuk “pertaubatan ekologis” disusun dalam encyclicalnya yang berpengaruh, “Laudato Si'”, sebagai respons terhadap krisis lingkungan global. Ia menghubungkan perubahan iklim, kerusakan lingkungan, dan ketidaksetaraan sosial sebagai masalah yang saling terkait dan menyerukan aksi konkret dari seluruh umat manusia sebagai bentuk kepedulian akan rumah berasama, bumi yang menghadapi tantangan .
Kiranya fatwa MUI ini menjadi sebuah “Pertobatan ekologis” ala Indonesia adalah tentang mengubah paradigma kita terhadap lingkungan hidup dan bagaimana kita berinteraksi dengan alam. Ini bukan hanya tentang menghentikan deforestasi, tetapi juga tentang menghormati dan melindungi alam sebagai warisan yang diberikan kepada kita untuk dijaga dan dikelola dengan bijaksana. Langkah pertama dalam tobat ekologis ini adalah kesadaran akan dampak yang ditimbulkan oleh perilaku kita terhadap lingkungan, serta kesediaan untuk berubah.
Mengubah perilaku kita terhadap lingkungan memerlukan kolaborasi yang luas antara pemerintah, masyarakat sipil, sektor swasta, dan lembaga keagamaan. MUI sebagai salah satu lembaga keagamaan terbesar di Indonesia memiliki peran yang sangat penting dalam memperkuat kesadaran ekologis di kalangan umatnya. Melalui seruan untuk mengharamkan deforestasi, MUI telah menunjukkan komitmen moralnya dalam memperjuangkan perlindungan lingkungan.
Namun, keputusan ini juga harus diikuti dengan langkah-langkah konkret untuk mendorong perubahan perilaku dan kebijakan yang mendukung konservasi lingkungan. Ini termasuk pendidikan dan sosialisasi yang lebih luas tentang pentingnya menjaga ekosistem, pengembangan praktik-praktik pertanian dan kehutanan berkelanjutan, serta penguatan pengawasan dan penegakan hukum terhadap pelanggaran lingkungan.
Selain itu, tobat ekologis ala Indonesia juga membutuhkan keadilan sosial dan ekonomi. Banyak kasus deforestasi terjadi karena tekanan ekonomi yang memaksa masyarakat untuk menggantungkan hidup mereka pada eksploitasi sumber daya alam yang tidak bertanggung jawab. Bayangkan berapa banyak warga masyarakat yang hidup di sekitaran hutan lindung, menggantungkan hidupnya dari hasil hutan, berakhir menjadi pemburu ilegal di dalam hutan karena desakan kebutuhan hidup yang tidak mungkin dipenuhi,
Oleh karena itu, solusi jangka panjang untuk deforestasi harus memperhatikan kesejahteraan ekonomi masyarakat lokal, serta mempromosikan alternatif ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif. Bukan hanya mendorong hutan hutan lestari namun meninggalkan masyarakat yang bergantung hidup disekitarnya untuk hidup sebagai penjaga hutan semata.
Dengan demikian, tobat ekologis ala Indonesia bukan hanya tentang menghentikan deforestasi secara fisik, tetapi juga tentang membangun kembali hubungan harmonis antara manusia dan alam. Ini adalah panggilan untuk kembali kepada nilai-nilai kearifan lokal yang menghormati alam sebagai mitra hidup kita, bukan sekadar sumber daya yang dapat dieksploitasi. Sebagaimana masyarakat adat kita hidup dengan nilai nilai, seperti “lubuk larangan” di Mandiling Natal, dan “ Rimbo Larangan” yang sudah hidup di masyarakat Minangkabau. demi mewujudkan ketaatan vertikal hamba sebagai bentuk menjaga lingkungan atau Hifdzul Al-Biah yang berarti menjaga atau melindungi alam semesta, yang mencakup semua ciptaan, termasuk alam dan lingkungan hidup.
MUI telah memberikan tonggak awal yang penting dalam perjalanan ini dengan mengharamkan deforestasi. Namun, tanggung jawab berikutnya ada pada kita semua sebagai masyarakat Indonesia untuk menjalani tobat ekologis ini secara penuh dan memberikan kontribusi nyata dalam melindungi keanekaragaman hayati dan keberlanjutan lingkungan hidup bagi generasi mendatang.