Pendidikanantikorupsi.org. Kamis, 12 September 2024. Ardiansyah selaku Ketua Majelis Hakim, mencabut skors persidangan dan meminta agar Penasihat Hukum (PH) terdakwa untuk melanjutkan pembacaan bantahan (eksepsi) atas surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Sidang dilaksanakan di ruang Cakra 9 Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Medan.
PH terdakwa Barta (dkk) mengatakan dalam eksepsinya, bahwasanya tidak logis jika terdakwa Ikhsan Bohari dinyatakan sebagai pelaku tunggal dalam kasus ini. Karena pada umumnya kasus tipikor melibatkan sejumlah pihak yang berkaitan dengan pengelolaan dana perbankan. Tentu hal demikian diperlukan kerja sama beberapa pihak dalam proses pengambilan keputusan, pencairan dan pendanaan.
Selanjutnya, PH terdakwa juga mengutip beberapa aturan hukum yang berkaitan argumentasinya yakni Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah, Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 1146 K/PID/2006 dan No. 2110 K/PID.SUS/2015. Oleh karena itu, menurutnya tidak mungkin terdakwa sebagai pihak tunggal yang bertanggungjawab atas kasus ini. Proses pengajuan pencairan kredit diduga melibatkan banyak pihak, termasuk pejabat bank dan lembaga pengawas internal syariah. Maka PH terdakwa meminta agar Majelis Hakim tidak menerima surat dakwaan JPU yang menyatakan terdakwa adalah pelaku tunggal.
Selain itu, PH terdakwa juga mengatakan bahwasanya kasus ini merupakan perkara perdata yang berkaitan dengan kredit macet, bukan kasus korupsi. Sebab, dalam proses pengajuan kredit, kliennya telah memberikan jaminan berupa sertifikat hak milik (SHM) atas tanah dan bangunan yang nilainya lebih tinggi dari pokok pinjaman. Oleh karena itu, dikarenakan terdakwa memberikan agunan/jaminan lebih tinggi nilainya, menurut PH tidak ada niat jahat terdakwa melakukan korupsi.
Lebih lanjut, terdapat beberapa poin-poin utama dalam Nota Eksepsi PH terdakwa diantaranya ; surat dakwaan JPU tidak cermat, tidak jelas dan tidak lengkap. Lalu, dakwaan tidak berdasarkan hukum, kasus ini adalah ranah perdata bukan pidana korupsi, terdakwa bukan pelaku tunggal, kredit macet karena bencana (force Majeure) pandemi covid-19, terdakwa bersedia mengembalikan seluruh nilai pokok pinjaman dan bunga, kerugian negara harus berdasarkan audit resmi.
Kemudian, PH terdakwa juga mengatakan bahwasanya jika dilakukan pengembalian kerugian negara dapat menjadi faktor meringankan hukuman, memohon kepada majelis hakim agar terdakwa dijatuhi hukuman dengan masa percobaan.
Berdasarkan uraian tersebut, PH terdakwa menyimpulkan bahwasanya terdakwa telah menunjukkan itikad baik, bersedia mengembalikan kerugian keuangan negara, terdakwa tidak memenuhi unsur niat jahat, meminta agar diselesaikan dengan prinsip keadilan restoratif justice.
Oleh karena itu, PH terdakwa meminta agar Majelis Hakim dapat memutus perkara ini dengan amarnya menerima eksepsi PH terdakwa dan menyatakan surat dakwaan JPU batal demi hukum, menetapkan perkara ini tidak dilanjutkan, membebaskan dan memulihkan nama baik terdakwa.
Untuk diketahui, dalam kasus ini terdakwa didakwa dengan dakwaan primair Pasal 2 ayat (1) 1 Jo Pasal 18 UU Tipikor Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP, Subsidair Pasal 3 Jo. Pasal 18 UU Tipikor Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP. Kemudian, atas perbuatan terdakwa diduga telah merugikan keuangan negara senilai Rp4.486.838.491.
Usai mendengarkan pembacaan bantahan (eksepsi) dari PH terdakwa, Majelis Hakim menunda persidangan hingga Jumat, 20 September 2024 dengan agenda tanggapan JPU atas bantahan (eksepsi) PH terdakwa.