Oleh : Hidayat Chaniago
Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Sebaik-baik manusia adalah orang yang suka memberi. Perbuatan ringan tangan akan menciptakan karakter pengasih dan penyayang. Kalimat-kalimat demikian sering disampaikan, diajarkan dan ditanamkan sejak kecil oleh orang tua dan guru. Tujuannya agar kelak terhindar dari perbuatan akhlak tercela seperti tamak, pelit dan sebagainya. Bahkan Tuhan Yang Maha Esa pun memerintahkan dalam firmannya agar menjadi manusia yang suka memberi tanpa pamrih, ikhlas, tulus baik dalam keadaan luang maupun sempit, sebab perbuatan tersebut sangat dicintai-Nya.
Penting kiranya kalimat yang mengandung nasehat tersebut tetap terpatri di dalam diri setiap manusia. Akan tetapi, ketulusan memberi yang pernah diajarkan dahulu semakin hari perlahan-lahan memudar, hilang. Mungkin pudarnya karakter mudah dan banyak memberi tanpa ada maksud atau tujuan tertentu akibat perubahan sosial di masyarakat. Saat ini jiwa masyarakat untuk bergotong royong, bahu-membahu ataupun mengulurkan bantuan tangan sudah mulai beralih paradigma, sebut saja ketika telah memberi apa yang didapatkan ?. Inilah salah satu karakter pragmatis (untung-rugi) yang sangat berbahaya jika dibudidayakan.
Bukan memberinya yang salah, namun jika pemberian itu di selipkan maksud atau tujuan yang buruk itulah yang salah. Inilah yang disebut merusak generasi. Berkaca dari para pahlawan terdahulu, mereka rela memberikan apa saja yang dimilikinya agar negara dan bangsa bisa merdeka sehingga bermanfaat untuk masyarakat luas. Bahkan para pahlawan kita secara tegas menolak pemberian kemerdekaan dari bangsa penjajah. Penolakan pemberian itu mengajarkan kepada kita bahwasanya Indonesia adalah bangsa yang kuat, mandiri dapat meredeka melalui usaha sendiri atau disebut berdiri di kaki sendiri (BERDIKARI). Sebab, mereka mengetahui akibat jika kemerdekaan Indonesia diberikan. Yaitu sama saja melanggengkan penjajah di Indonesia.
Terkadang sulit untuk menolak pemberian dari siapapun. Terbesit dalam benak kita merasa sungkan, tidak enak hati menolak. Bahkan telah tercipta budaya yaitu jika menolak pemberian berarti menolak rezeki. Kalimat ini jika tidak dipahami dengan bijaksana akan berbahaya, terlebih memberi tidak sesuai pada tempatnya. Misalnya, kebiasaan memberi dilakukan ketika mengurusi administrasi di pemerintahan. Perbuatan tersebut merupakan salah satu bentuk korupsi Gratifikasi atau Suap yang pemberi dan penerima dapat diberikan sanksi hukuman jika terbukti bersalah. Namun, dari segi karakter perbuatan ini berpotensi merusak karakter anak bangsa, merusak kepribadian generasi Indonesia. Oleh karena itu, banyak memberi harus terukur tujuannya agar tidak dipahami sebagai hal-hal yang negatif.
Pemberian tidak hanya berbentuk barang atau jasa, melainkan pemberian dapat berbentuk Jabatan. Lantas apa kaitannya dengan tajuk ini ?. Begini, jika jabatan itu diberikan kepada orang yang tidak berkompeten di bidangnya, maka bersiaplah menghadapi kehancuran. Seharusnya ketika diberikan jabatan, maka wajib memberikan contoh teladan yang baik kepada rakyat, dimanfaatkan untuk kepentingan publik, membangun generasi yang baik sebab Pejabat punya kuasa yang dapat mengendalikan sistem, bukan justru merusak.
Artinya jika jabatan itu diberikan oleh rakyat secara demokrasi, maka laksanakanlah sebaik- baiknya jangan digunakan untuk memuaskan hasrat duniawi pribadi, golongan semata. Lagi dan lagi nanti kaitannya adalah korupsi. Jangan sampai ketika proses pemberian jabatan terselip perjanjian politik (Bargaining Politic), jabatan telah diberikan lantas apa yang didapat ?. Politik Pragmatis. Harus berhati-hati, jangan terjebak dalam sistem yang rusak, apalagi sistem tersebut dapat merusak yang lain, terlebih merusak karakter generasi bangsa.
Beredar di masyarakat sering mendengar kalimat “Uang Terima Kasih, Uang Capek, Uang Ngopi-Ngopi”. Tidak ada yang tahu siapa yang memulai dan menciptakan hal tersebut. Biasanya kalimat ini terucap ketika berhadapan dengan urusan birokrasi pemerintahan ataupun swasta. Tanpa adanya pemberian uang tersebut apapun itu namanya, tak jarang menghadapi berbagai kendala. Padahal tanpa adanya pemberian uang tersebut setiap warga negara berhak mendapatkan kemudahan ketika mengurus administrasi apapun. Mengapa ini terjadi ?. Tentu perbuatan tersebut telah dibudidayakan, sehingga menjadi kebiasaan yang harus dilakukan. Jika tidak diberi akan dipersulit, proses administrasi di perlama.
Kebanyakan memberi juga tidak baik untuk pembinaan karakter. Sebab, jika terlalu banyak memberi akan melahirkan mental yang cenderung tidak mandiri ataupun manja, tidak mendapatkan proses pembelajaran dari dasar. Semua akan mudah jika ada yang memberi. Namun, hal ini sangat berbahaya dan jangan dibiasakan agar setiap mental generasi bangsa terbiasa mandiri, memicu semangat untuk mendapatkan yang dicapai. Terlebih menghindari kebiasaan memberi dengan tujuan tidak baik yang berpotensi melahirkan karakter korupsi.