Oleh : Ibrahim
Komitmen untuk memberantas korupsi di Indonesia telah menjadi agenda utama pemerintah sejak berdirinya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun, dalam beberapa tahun terakhir, khususnya sejak perubahan Undang Undang KPK, di tahun 2019, KPK telah menghadapi tantangan serius terkait dengan integritas dan penegakan hukum yang konsisten.
Salah satu insiden yang menarik perhatian publik dan menjadi dilema pada saat ini adalah permasalahan 90 orang pegawai KPK yang terlibat dalam permasalahan tindak pidana korupsi berupa melakukan perbuatan pungutan liar di tiga Rumah Tahanan milik KPK, yang ditaksir telah mencapai angka sebesar Rp 6 miliar sejak tahun 2018 sampai 2023, perbuatan pungutan liar itu diduga berkaitan dengan penyeludupan uang dan alat komunikasi untuk tahanan kasus korupsi, dimana setiap pegawai disebut menerima uang sebesar Rp 1 juta sampai Rp 500 juta.
Menarik adalah kepada 78 orang pegawai yang terlibat dalam perbuatan pungli yang ditaksir terjadi sejak tahun 2018 sampai 2023 di tiga Rumah Tahanan milik KPK dihukum untuk melakukan permintaan maaf oleh Dewan Pengawas KPK, ke 78 orang tersebut, diperintahkan untuk berbaris dan meminta maaf di hadapan publik, dalam Pelaksanaan Eksekusi Putusan Majelis Etik Dewan Pengawas KKK, tanggal 26/2/2024.
Sejak dipimpin oleh Firli Bahuri di tahun 2019, KPK telah menuai kritik yang cukup tajam terkait dengan langkah-langkahnya yang dianggap meragukan dalam menjaga independensi dan integritas lembaga. Salah satu contoh yang mencolok dan yang menarik perhatian publik adalah penonaktifan 75 pegawai KPK yang diduga tidak loyal dan terlibat dalam gerakan solidaritas untuk mendukung mantan pimpinan KPK. Tindakan ini dianggap sebagai upaya untuk menyisihkan mereka yang dianggap tidak sejalan dengan kebijakan pimpinan saat ini, tanpa dasar yang jelas dan transparan. Langkah seperti ini justru menimbulkan keraguan akan keberpihakan dan objektivitas KPK dalam menjalankan tugasnya.
Tidak hanya itu, beberapa keputusan dan kebijakan internal KPK yang dinilai kontroversial juga telah memicu pertanyaan serius tentang komitmen KPK terhadap integritas dan independensinya, Misalnya kasus yang melibatkan Lili Pintauli dan kasus Firli Bahuri yang berakhir dengan dicopotnya kedua pimpinan KPK tersebut. Lain dari itu keputusan atau upaya untuk mengurangi keterbukaan informasi publik dengan meniadakan konferensi pers rutin setelah rapat pimpinan. Tindakan ini menuai kritik tajam dari berbagai pihak, yang menilai bahwa transparansi adalah salah satu kunci utama untuk memastikan akuntabilitas dan integritas lembaga anti-korupsi.
Kejadian pungli oleh 90 orang pegawai KPK di rutan KPK ini menimbulkan pertanyaan mendalam sejauh mana lagi integritas KPK akan jatuh, mengingat ada banyak permasalahan yang telah mendera KPK sejak dipimpin oleh Fihri Bahuri cs. KPK sebagai lembaga penegak hukum yang khusus dibentuk untuk mengentaskan permasalahan korupsi seharusnya menjadi teladan, tindakan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip anti-korupsi justru perbuatan pungutan liar dilakukan oleh pegawai KPK sendiri. Hal ini tidak hanya mencoreng citra lembaga, tetapi juga mempertegas keraguan publik, tidak hanya kepada pimpinan KPK tetapi kepada terhadap efektivitas KPK secara kelembagaan dalam memberantas korupsi.
Semula semangat dibentuknya KPK adalah agar menjadi lembaga hukum pembeda. Namun belakangan ini ada banyak masalah yang menjadikan KPK menjadi lembaga biasa biasa saja, tindakan pemberian hukuman meminta maaf oleh Dewan Pengawas KPK kepada pegawai KPK yang melakukan perbuatan pungli tidak hanya memperlemah kredibilitas KPK, tetapi juga menyampaikan pesan yang salah kepada masyarakat bahwa pelanggaran terhadap hukum dapat diampuni dengan permintaan maaf, tanpa konsekuensi yang tegas.
Hukuman permintaan maaf kepada pegawai KPK yang terlibat dalam pungli di rutan milik KPK menunjukkan bahwa, meskipun KPK memiliki wewenang untuk menegakkan hukum, keberadaannya dalam praktik tidak terlepas dari permasalahan yang sama dengan lembaga penegak hukum lainnya.
Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) di Indonesia, hukuman bagi pelaku tindak pidana korupsi, termasuk pungutan liar atau pungli, diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah mengalami perubahan terakhir dengan UU No. 20 Tahun 2001. Berikut adalah kutipan Pasal 2 ayat (1) UU tersebut:
“Pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
Dalam konteks pungutan liar (pungli), yang merupakan salah satu bentuk tindak pidana korupsi, para pelaku dari pegawai KPK yang terbukti melakukan pungutan liar dapat dikenakan hukuman pidana penjara sesuai dengan ketentuan yang telah disebutkan di atas. Ironi ketika disaat pelakunya adalah pegawai KPK kita hanya mendengar keputusan permintaan maaf, sangat kontras dengan tagline KPK “berani jujur hebat”
Pemberantasan pungli merupakan bagian penting dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia, dan hukuman yang tegas dan berat bagi pelaku diharapkan dapat memberikan efek jera dan mencegah terulangnya tindak pidana korupsi Oleh karenanya tidak heran kritik dari masyarakat dan publik terhadap KPK yang dianggap telah kehilangan fokus pada misinya sebagai penegak hukum yang independen dan tidak memihak semakin meningkat. Perilaku membandingkan antara KPK dengan lembaga penegak hukum lainnya yang dilakukan oleh masyarakat pun semakin sulit dihindari. Ketika KPK gagal mempertahankan standar integritasnya sendiri, kepercayaan masyarakat terhadap lembaga ini pun akan semakin tergerus.
Untuk memulihkan kepercayaan publik dan menjaga integritasnya sebagai lembaga anti-korupsi yang kuat, KPK perlu melakukan langkah-langkah konkret dan sistematis, Pertama, KPK harus melakukan evaluasi mendalam terhadap sistem internalnya, termasuk proses rekrutmen, pengawasan, dan penegakan disiplin. Kedua, KPK harus meningkatkan transparansi dan akuntabilitasnya kepada publik dengan memberikan akses yang lebih luas terhadap informasi-informasi terkait dengan operasional dan kebijakannya, ketiga pemberian sanksi yang tegas terhadap setiap perilaku pelanggaran hukum dan etika.
Selain itu, KPK juga harus memastikan bahwa pimpinan dan pegawainya memperlihatkan komitmen yang kuat terhadap prinsip-prinsip anti-korupsi dan independensi lembaga. Hanya dengan langkah-langkah konkret seperti ini, KPK dapat memperbaiki citra dan kredibilitasnya, serta kembali menjadi kekuatan yang efektif dalam memerangi korupsi di Indonesia. Tentu saja kita rindu para pegawai KPK yang tidak mau menerima apapun, bahkan sebuah pemberian berupa segelas air minum ketika bersua.
(Penulis Merupakan Koordinator Eksekutif SAHdaR)