(KOMPAS, Sabtu, 28 April 2012)
Catatan Reiner de Klerk (Gubernur Banda tahun 1748 dan Gubernur Jenderal Hindia Belanda 1777-1780), mengungkapkan, pendapatan VOC dari penjualan rempah-rempah, terutama pala dan fulinya, mencapai 1,800,000 gulden pada tahun 1756. Sekitar seabad kemudian, bahan statistik yang dikumpulkan Dr. Pieter Bleeker, seorang opsir kesehatan tentara menyebutkan penerimaan dari perdagangan rempah-rempah mencapi 959,610 gulden (Willard A Hanna, 1983).
Namun pada permulaan abad ke 20 peran penting ini berangsur pudar. Pada periode itu, Banda hanya menyumbang pendapatan 20,000 gulden per tahun. Pemerintah kolonial juga menurunkan kedudukan Banda menjadi kepulauan terpencil di bawah Keresidenan Ambon. Hierarki pemerintahan yang semula setingkat gubernur diganti menjadi kontrolir.
Empat tokoh
Sejak akhir abad ke 19, Banda Neira, sebuah kota berpenduduk sekitar 7,000 orang dan terletak di Pulau Neira, menjadi tempat pengasingan para tokoh politik bumiputera. Pada dinding monumen peringatan Parigi Rante di Banda Neira kini tercantum naman-nama tokoh yang pernah dibuang di situ. Diantara para tokoh politik ada yang berasal dari Serang, Blitar, hingga Kutaraja, dan Tondano.
Kedatangan empat tokoh politik pada periode 1928-1942, yakni Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Iwa Kusuma Sumantri, dan dokter Tjipto Mangunkusumo, memberi warna tersendiri bagi wilayah ini. Keempatnya melalui organiasi masing-masing, berjuang membangkitkan kesadaran akan sebuah bangsa yang baru, yang bebas dari kolonialisme.
Hatta dan Sjahrir dibawa ke Banda Neira, dari tempat pembuangan selanjutnya, yakni Boven Digoel Papua. Mereka ditangkap karena melakukan pendidikan politik kader melalui organisasi Pendidikan Nasional Indonesia (PNI-Baru). Iwa K Sumantri bersama dengan Hatta dan Sjahrir mendirikan Perhimpunan Indonesia di Belanda pada 1920-an. Dokter Tjipto merupakan salah satu pendiri Indesche Partij yang memperjuangkan kemerdekaan politik.
Di Banda Neira, keempanya dilarang melakukan kegiatan politik. Meskipun demikian, ruang gerak yang ada dipakai untuk melawan pengaruh kolonial atas penduduk lokal. Iwa K Sumantri dan Sjahrir memberikan bantuan hukum bagi penduduk terutama berkaitan dengan hak atas tanah. Hatta membatu anak muda lokal membentuk gerakan koperasi Persatuan Banda Neira diantara para petani. Dokter Tjipto selalu bersedia mengobati yang sakit.
Kehadiran mereka saat itu mengisi sepenggal ruang di dalam memori kolektif masyarakat lokal dan membangkitkan kembali kesadaran sebuah bangsa terjajah.
“Bagi saya, Hatta dan Sjahrir adalah merah putih. Mereka pernah minta orang kampung membuat kole-kole (sampan). Sjahrir lalu minta agar bagian bawah dicat dengan warna merah dan putih di bagian atas,” kenang Farid Sabhan (83 tahun) yang berumur tujuh tahun ketika Hatta dan Sjahrir dibuang di Banda Neira.
Menurut Farid, ia juga ingat cerita anak anak saat itu, tentang kurir surat Hatta. “Dulu ada seorang tukang arang langganan Hatta, bernama La Saodah, yang sering diminta Hatta mengantar surat mengantar surat kepada dokter Tjipto. Supaya tidak diketahui Belanda, surat itu dilipat kecil dan dimasukkan ke dalam kantong arang,” ungkap Farid yang dulu kerap berjualan kue-kue seperti lopes , wajik, dan gogos, ke rumah Hatta dan Sjahrir.
Ketika Jepang menyerang Pearl Harbour, pemerintah kolonial memobilisasi penduduk lokal untuk pertahanan sipil. Sebagai bentuk sikap antifasis, Hatta dan Sjahrir ikut ambil bagian. Seorang pemilik toko China di Neira memberi Sjahrir radio gelombang pendek agar dapat langsung mendengarkan siaran berita internasional, terutama tentang perang. Sjahrir lalu menerjemahkan dan menyiarkannya untuk seluruh penduduk.
Hatta dan Sjahrir banyak mengisi hari-hari mereka di Banda Neira dengan berkegiatan bersama anak-anak. Selain bermain, naik perahu mengelilingi pulau Neira, Gunung Api, atau pun Banda Besar, mereka juga menyelengarakan sekolah yang diadakan di rumah Hatta. Sekolah Hatta-Sjahrir ini terus dikenang hingga saat ini dan area tempat belajar tetap dipelihara.
Des Alwi, seorang putra Banda yang mengalami masa-masa bersama Hatta dan Sjahrir selama di pengasingan, menulis di dalam bukunya, Friends and Exiles, “Sekitar 20 anak mengikuti sekolah siang mereka. Sebagian besar adalah cucu keluarga Baadilla. Ada juga anak Om Tjip, Donald, dan Louis, serta Husein dan Tjahtji Maskat, anak-anak dari mantan kapten kapal pencari mutiara dan berapa orang Banda yang tidak mendapat kesempatan sekolah lanjutan di Ambon, Makassar, atau Jawa.”
Salah satu “kemewahan” yang bisa dinikmati kaum eksil di Banda Neira adalah diperbolehkan membeli buku-buku bahkan dari negeri Belanda. Keduanya banyak membeli buku untuk anak-anak di sana.
Kedekatan Des Alwi dan berapa anak lainnya dengan Hatta-Sjahrir terus berlanjut hingga pasca-pengasingan. Sjahrir membawa serta empat anak keluarga Baadilla saat kembali ke Jawa. Des Alwi kemudian melanjutkan pendidikannya ke Surabaya dan London. Des menjadi generasi baru Banda yang melihat dunia luar dan membawa kembali gagasan-gagasan baru untuk Banda.
Rumah bekas keempat tokoh nasional ini kini jadi museum yang sebagian dikelola bersama oleh Yayasan Warisan dan Budaya Banda Naira yang didirikan Des Alwi dan keluarga Hatta. “Saat ini, anak-anak kelas 1-3 SD di Banda Neira diajak berkunjung ke situ sehingga hampir semua penduduk tahu dulu ada sekolah yang dibikin Hatta dan Sjahrir di sini.” Jelas Iqbal Baadila, Warga Banda Neira.
Kehadiran para tokoh nasional di Banda Neira telah memperkenalkan penduduk lokal kepada dunia luar dan peristiwa penting di luar kehidupan mereka. Sekolah, bacaan, interaksi sehari-hari, serta aktivitas, para tokoh nasional di sana turut membentuk kesadaran akan nasion yang baru.