UU Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD) pada pasal 14 ayat 1 huruf a menyebutkan bahwa dalam melaksanakan tugas keprofesionalannya guru berhak memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum. Namun sampai dengan saat ini, bagaimana standar kebutuhan hidup minimum seorang guru belum diatur sebagaimana mestinya. Bahkan dalam PP Nomor 74 tahun 2008 tentang Guru, tidak ada satu pasal pun yang mengatur bagaimana standar penghasilan guru.
Bagi guru PNS, tidak menjadi persoalan karena penghasilannya sudah diatur sama dengan PNS lainnya tetapi bagi guru Non-PNS, hal ini menjadi salah satu persoalan yang sangat penting dalam upaya memperoleh jaminan penghasilan. Di Kota Medan masih ditemui guru yang bekerja dengan penghasilan Rp. 10.000 per jam tatap muka. Dalam UUGD pasal 35 ayat a disebutkan bahwa beban kerja guru sekurang-kurangnya 24 jam tatap muka dan sebanyak-banyaknya 40 jam tatap muka. Artinya, kalaupun jam mengajarnya sampai dengan 40 jam, maka penghasilannya sebulan hanya Rp. 400.000,-. Tidak sebanding misalnya dengan UMK Kota Medan tahun 2011 yang sudah mencapai Rp. 1.197.000,-. Jelas terlihat bahwa penghasilan guru masih lebih rendah dari upah buruh sekalipun. Bahkan seorang guru, dalam hitungannya, digaji seminggu untuk kerja sebulan.
Atas dasar kondisi di atas Sentra Advokasi untuk Hak Pendidikan Rakyat (SAHdaR) bekerja sama dengan Serikat Guru Indonesia Kota Medan (SeGI Medan) survei terhadap gaji guru yang layak di Kota Medan. Survei ini menggunakan instrumen yang ada pada Permennaker Nomor: PER-17/MEN/VIII/2005 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak bagi pekerja lajang sebagai dasar dalam pembuatan instrumen survei. Melalui proses FGD dan observasi kemudian dihasilkan instrumen survei yang disesuaikan dengan kebutuhan guru, pasar dan kondisi kerja guru.
Penggunaan Permennaker ini sebagai dasar dalam pembuatan instrumen survei bukannya tanpa alasan. Pertama, dalam UUGD ada beberapa istilah yang bersamaan dengan Undang-undang Ketenagakerjaan (UUK) seperti penggunaan kesepakatan kerja atau perjanjian kerja bersama, standar penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum (meskipun dalam UUK sudah menggunakan kebutuhan hidup layak), kebebasan untuk berserikat, jam tatap muka yang 40 jam, dan kompensasi financial bagi pemutusan hubungan kerja.
Kedua,Thoga Sitorus (2010) menyebutkan bahwa berdasarkan UUK, hubungan kerja terjadi jika adanya pekerjaan, di bawah perintah, adanya upah tertentu dan dalam waktu yang ditentukan. Guru sebagai pekerjaan jelas memenuhi ketentuan ini. Artinya, guru disamping sebagai profesi (sesuai UUGD) juga adalah pekerja (sesuai UUK) dan UUK dapat diterapkan dalam hubungan kerja untuk guru di sekolah.
Ketiga, sampai dengan saat ini pemerintah (Kemdiknas) belum membuat peraturan untuk mengimplemementasikan UUGD pasal 14 ayat 1 huruf a dan ini menjadi alasan utama penggunaan Permennaker sebagai dasar pembuatan instrumen.
Gaji Guru yang Layak di Medan
Dari hasil survei diperoleh bahwa Kebutuhan Hidup Layak seorang guru lajang di Kota Medan adalah sebesar Rp. 2.251.844,-. Dengan rentangan jam mengajar antara 24 s.d. 40 jam, maka honor guru per jam yang ideal adalah antara Rp. 56.000,- s.d. Rp. 94.000,-.
Besarnya nilai KHL ini merupakan hal yang wajar mengingat beban kerja dan tanggung jawab guru yang berat. Disamping melakukan tatap muka di depan kelas seorang guru juga memiliki tugas pokok lainnya yaitu merencanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, membimbing dan melatih peserta didik serta melaksanakan tugas tambahan. Dengan tugas-tugas seperti itu, seorang guru tidak mungkin melakukan seluruhnya di sekolah karena waktunya sudah tersita untuk melaksanakan pembelajaran. Seorang guru harus merelakan sebagian waktunya di luar sekolah untuk melaksanakan tugas-tugasnya.
Seandainya seorang guru mengajar dengan jam maksimal 40 jam tatap muka, maka ini akan menyita waktu 5 atau 6 hari disekolah. Artinya, untuk melakukan penilaian hasil belajar, terutama penilaian harian, dan persiapan untuk bahan pembelajaran keesokan harinya, harus disediakan waktu tersendiri di rumah. Untuk pekerjaan di rumah ini, paling tidak seorang guru harus menyediakan waktu 2 s.d. 4 jam per harinya. Total waktu yang dibutuhkan adalah 40 jam tatap muka ditambah 12 s.d. 24 jam untuk persiapan dan penilaian di luar sekolah.
Bahkan beban ini akan semakin berat bagi guru yang memiliki sedikit jam per kelasnya. Guru PKn misalnya, dengan 2 jam per kelasnya dan 40 jam tatap muka seminggu maka akan ada 20 kelas yang diajarnya dalam seminggu. Andaikan per kelasnya ada 25 orang siswa, dalam seminggunya ia akan bertatap muka dengan 500 orang siswa. Artinya, ia harus mengajar, melatih, membimbing dan melakukan penilaian terhadap 500 orang siswa tadi.
Pembelajaran mutakhir menuntut guru mampu mengenal segala potensi, kelebihan dan kekurangan siswa per individu. Dengan jumlah siswa yang banyak, hal ini mustahil dilakukan. Yang terjadi kemudian adalah, dalam menilai kemampuan siswa, guru hanya “mengingat wajah” atau hanya dengan “mencium kertas ujian” tanpa memeriksa lembar jawaban siswa tersebut. Kondisi ini timbul karena tuntutan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dengan honor yang rendah maka pilihannya adalah memperbanyak jumlah jam tatap muka tanpa mempedulikan lagi persoalan profesionalitas.
Jika dibandingkan antara hasil survei dengan UMK Kota Medan tahun 2011 maka akan terdapat selisih Rp. 1,054,844 atau ± 88 % dari nilai UMK tersebut. Seandainya persentase ini digunakan untuk menghitung penghasilan guru di Kabupaten danKotayang lain maka akan diperoleh nilai sebagai berikut :
No |
Kabupaten/ Kota |
UMK 2011 |
KHL untuk Guru |
1 |
Kabupaten Asahan |
1,115,000 |
2,096,200 |
2 |
Kabupaten Batubara |
1,156,500 |
2,173,280 |
3 |
Kabupaten Serdang Bedagai |
1,081,500 |
2,033,200 |
4 |
Kabupaten Langkat |
1,116,000 |
1,974,000 |
5 |
KotaPematang Siantar |
1,050,000 |
2,098,080 |
Tabel perkiraan KHL untuk guru di beberapa Kabupaten/Kotaberdasarkan UMK-nya
Melihat temuan survei ini, sebagaimana biasanya, Pemerintah pasti akan berdalih bahwa mereka telah memberikan Subsidi Tunjangan Fungsional bagi guru Non-PNS dan Tunjangan Profesi bagi mereka yang telah bersertifikat, yang nilainya mampu menutupi Kebutuhan Hidup Layak seorang guru dari hasil survei ini.
Kalaupun pemerintah berargumen demikian, tetap saja apa yang dilakukan oleh Pemerintah tersebut tidak menjawab apa yang dimaksud dengan penghasilan di atas kebutuhan hidup yang minimum dalam UUGD karena pemberian tunjangan tidak mengiringi gaji pokok tiap bulannya atau diberikan secara rapelan. Apakah guru Non-PNS hanya hidup layak ketika memperoleh rapelan tunjangan dan harus menderita selebihnya?
Apalagi yang namanya tunjangan, tidak bisa dikategorikan sebagai upah atau penghasilan sebagai imbalan bagi guru dalam menjalankan tugas-tugas pokoknya. Tunjangan lebih bersifat sebagai reward ataupun hadiah bagi guru yang memiliki kinerja dan prestasi yang lebih dari seharusnya.
Guru PNS juga memperoleh tunjangan melalui Tunjangan Fungsional, bukan sekedar Subsidi, dan Tunjangan Profesi bagi yang bersertifikat dengan besaran berbeda. Artinya guru PNS bisa menerima penghasilan lebih besar dari guru Non-PNS, bahkan sampai beberapa kali lipat dan tentunya lebih besar dari nilai kebutuhan hidup layak.
Sangat jelas pemerintah telah melakukan diskriminasi terhadap guru. Padahal, tidak ada satupun pasal dalam UUGD yang menyebutkan bahwa Guru PNS bisa memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum sementara Guru Non-PNS penghasilannya cukup di bawah kebutuhan hidup minimum.
Pemberian tunjangan pun bukan pemecahan masalah bagi upaya memberikan jaminan penghasilan untuk kehidupan yang layak bagi guru. Tunjangan yang diberikan biasanya temporer, sangat tergantung dengan kondisi keuangan negara dan kemauan pemimpinnya. Menjelang pemilukada seorang pimpinan daerah akan sangat santun memberikan tunjangan atau insentif bagi guru dengan harapan akan memperoleh dukungan. Begitu terpilih untuk periode pertama besarnya tunjangan pun terus ditingkatkan sampai terpilih lagi untuk periode kedua. Pada periode kedua jumlah tunjangan pun sudah mulai dikurangi, dengan potongan ini-itu, sampai hilang sama sekali.
Dalam pemberian tunjangan profesi juga masih terjadi tindakan diskriminatif. UUGD menyebutkan bahwa tunjangan profesi diberikan setara dengan 1 kali gaji pokok guru PNS sesuai dengan tingkat, masa kerja dan kualifikasi yang sama, baik untuk guru PNS maupun guru Non-PNS. Tetapi dalam realitanya guru Non-PNS menerima tunjangan profesi dalam jumlah yang sama yaitu Rp. 1.500.000,-. Walaupun telah bekerja lebih dari 20 tahun, tunjangan profesi yang diterima sama dengan yang baru bekerja 5 tahun.
Hal ini diakibatkan belum selesainya program inpassing yang dilakukan pemerintah. Yaitu proses penyetaraan golongan dan masa kerja bagi guru Non-PNS sesuai dengan golongan dan masa kerja guru PNS. Dari sekitar 87.065 orang guru Non-PNS di Sumatera Utara baru 262 orang atau 0,5 % yang telah diinpassing.
Catatan Akhir
Dalam sebuah hadist Rasullullah SAW bersabda, “Bayarlah upah pekerjamu sebelum kering keringatnya.” Hadist ini jelas menganjurkan agar para majikan membayar upahnya tepat waktu. Bagaimana dengan gaji guru? Tunjangan Profesi maupun Subsidi Tunjangan Fungsional yang diharapkan mampu membantu meningkatkan kesejahteraan guru biasanya diberikan dalam waktu 3 bulan, 6 bulan atau 9 bulan. Bisa jadi, pada saat tunjangan diterima, bukan hanya keringat guru yang menguap dan mengering tetapi kulit pun sudah mengering bahkan terkelupas.
Memang profesi guru secara filosofi merupakan pekerjaan yang berdasarkan atas panggilan jiwa dan hati nurani, yang harus dilaksanakan secara tulus dan ikhlas. Membutuhkan semangat pengabdian, perjuangan dan kerelaan berkorban yang besar. Lalu, dengan tuntutan sedemikian, apakah guru tidak berhak untuk sekedar hidup yang layak?
Oleh : Fahriza Marta Tanjung, S.Pd.[1]
[1] Penulis adalah Guru PNS dan Sekretaris Umum Serikat Guru Indonesia Kota Medan