[Pendidikanantikorupsi.org] Sidang pemeriksaan saksi, kasus dugaan korupsi pembelian surat hutang jangka menengah atau Medium Term Notes (MTN) oleh Bank Sumut, yang menimbulkan kerugian negara senilai Rp 202 milliar kembali digelar di Pengadilan Negeri Medan, Kamis (24/9/ 2020).
Di persidangan ini Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejatisu) mengahadirkan saksi dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yakni Indra, Pengawas Lembaga Pembiayaan.
Dari gelar persidangan terungkap bahwa OJK tidak melakukan pengawasan dengan benar sehingga Bank Sumut mengalami kerugian keuangan senilai Rp 202 milyar. Kerugian keuangan itu sendiri muncul setelah PT. Sunprima Nusantara Pembiayaan (SNP) selaku penerbit MTN gagal membayar kewajibannya kepada Bank Sumut selaku salah satu investor yang membeli MTN, kewajiban yang dimaksud ialah berupa dana pokok beserta kupon atau bunga yang ditawarkan dalam MTN.
Saat menjawab pertanyaan dari JPU Hendrik Sipahutar, saksi Indra menerangkan bahwa PT. SNP merupakan salah satu industri pembiayaan sehingga masuk dalam pengawasan OJK. Pada Desember 2017 OJK juga pernah melakukan pemeriksaan terhadap PT. SNP, pemeriksaan tersebut dilakukan karena ada kenaikan peneribitan MTN yang cukup signifikan dari PT. SNP hanya dalam kurun waktu satu tahun, dimana pada penerbitan MTN pertama bulan Februari 2017, MTN yang diterbitkan hanya senilai Rp 200 milliar namun pada Desember 2017 mencapai hampir Rp 1 trilliun, “ini mengindikasikan ada kebutuhan dana yang cukup signifikan” kata Indra dihadapan lima orang Hakim.
OJK kemudian menindaklanjuti hal tersebut dengan memanggil Direksi PT. SNP untuk menjelaskan terkait penerbitan MTN yang meningkat signifikan. Saat itu pihak Direksi PT. SNP yang diwakili oleh Direktur Utama Donni Satria, Direktur Operasional Andi Pawelloi dan Sei Ling menjelaskan kepada OJK bahwa tidak ada kebutuhan keuangan yang fundamental di PT. SNP hanya saja penerbitan MTN adalah bagian dari strategi perusahaan.
Setelah melakukan pemeriksaan lebih lanjut, OJK menemukan bahwa laporan keuangan yang disajikan PT. SNP tidak benar atau tidak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya. Menurut Indra ada dua laporan keuangan yang disajikan PT. SNP, pertama laporan keuangan bulanan yang dibuat sendiri oleh PT SNP, kedua laporan keuangan tahunan hasil audit dari Kantor Akuntan Publik (KAP) Deloitte, antara laporan keuangan bulanan dan laporan keuangan tahunan tidak terdapat selisih yang signifikan, tetapi berdasarkan pemeriksaan OJK ditemukan bahwa laporan keuangan tersebut tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya, salah satunya ialah piutang pembiayaan PT. Colombia (perusahaan yang dibiayai PT. SNP) jumlah yang dilaporkan PT. SNP senilai 5,631 trilliun tapi nyatanya hanya 787,59 milliar.
Dari hasil temuan tersebut, pada 3 April 2018 OJK mengirim surat kepada PT. SNP yang berisi larangan untuk menerbitkan MTN dan atau pendanaan lainnya, namun surat tersebut tidak diindahkan, PT SNP tetap menerbitkan MTN seri VI.
Bank Sumut kembali membeli MTN SNP seri VI tahap dua senilai Rp 75 milliar. Sebelumnya Bank Sumut juga membeli MTN SNP seri VI tahap satu senilai Rp 50 milliar pada Maret 2018 dan MTN seri IV senilai Rp 52 miiliar pada November 2017.
Suatu hal yang disayangkan ketika OJK tidak menginformasikan kepada publik terkait temuan adanya indikasi kecurangan laproran keuangan PT. SNP, sehingga bank dan lembaga keuangan lain tetap memberikan kredit ke PT. SNP. Hal senada disampaikan oleh Hakim Anggota Felix Da Lopez. Masih dalam persidangan, Felix Da Lopez dengan nada keras menerangkan kepada saksi Indra bahwa semenjak lahirnya Undang-Undang OJK tahun 2011 semua kegiatan di bidang jasa keuangan dan perbankan mengacu pada ketentuan OJK,
”Oleh karena itu OJK harus bertanggung jawab, bukan cuma seperti tadi datang melihat, kalau ada macam tadi PT. SNP suadara sudah pantau dari awal ada indikasi, maka ini indikasi jadi lebih konkret, disampaikan ke Bank Sumut yang uangnya habis sekarang, itu harus begitu masak cuma diam-diam apa begitu tugas OJK” tegas Felix
Saksi Indra kemudian menanggapinya dengan mengatakan bahwa dalam OJK ada tugas masing-masing yakni Pengawas Perbankan, Pengawas Pasar Modal dan Pengawas Lembaga Pembiayaan. Dirinya sebagai pengawas Lembaga Pembiayaan hanya mengawasi lembaga pembiayaan.
Hakim Felix kembali menimpali jawaban dari Saksi Indra, Felix menyebut bahwa ada kordinasi internal untuk hal-hal lintas sektoral, “contonya KPK, KPK itu ada Divisi Pencegahan dia ada indikasi di situ disampaikan ke Divisi Penindakan, tangkap itu orang, itu yang harus dilakukan OJK, saudara dibayar besar oleh negara, tau kami itu, Komisioner OJK besar dia punya gaji” pungkas Felix.
Lebih lanjut, diakhir persidangan terdakwa Maulana Akhyar Lubis juga bertanya kepada saksi Indra, “tahun berapa bapak terakhir sebelum tahun 2018 melakukan pemeriksaan terhadap PT. SNP secara langsung” tanya Maulana
Saksi Indra mengatakan ia melakukan pemeriksaan terakhir terhadap PT SNP sebelum OJK berdiri yakni sekitar tahun 2009-2010.
Mendengar keterangan dari saksi Indra, Maulan Akhyar Lubis dengan nada keras mengatakan bahwa saksi Indra tidak melakukan pengawasan dengan benar.
“Apa seperti ini tugaas OJK, dibayar besar, saya orang Bank setiap tahun orang OJK masuk melakukan pengawasan, bapak sebelum OJK berdiri baru masuk, yang korban kami pak, apa tanggung jawab bapak, 3 trilliun bodong, artinya sejak tahun 2011 itu sudah bodong, bapak tidak melakukan pengawasan dengan benar”, keras Maulana Akhyar Lubis”.
Jika merujuk pada ketentuan Undang-Undang OJK tahun 2011 pasal 5 dan pasal 6, jelas bahwa OJK bertugas melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap keseluruhan kegiatan dalam sektor jasa keuangan yang meliputi kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan, kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal, kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya. Namun setelah institusi OJK dilahirkan pada tahun 2013, kasus kerugian dalam sektor jasa keuangan masih banyak terjadi, sebut saja misalnya kasus Jiwasraya yang tidak mampu polis nasabah hingga Rp 12,7 trilliun, kasus penggelapan dana nasabah Rp 4 triliun di koperasi Pandawa, Depok, Jawa Barat, kasus koperasi Cipaganti yang menghilangkan uang masyarakat mencapai Rp 3 triliun. Hingga kasus First Travel yang menghilangkan uang masyarakat hingga Rp1 triliun.
Pun selain kasus gagal bayar MTN, PT SNP juga terjerat kasus pembobolan bank atau gagal bayar kredit terhadap 14 Bank dengan kerugian Rp 2,4 trilliun. Pada kasus kredit perbankan ini, PT. SNP juga menggunakan laporan keuangan yang sudah dimanipulasi dan piutang fiktif pembiayaan PT Columbia yang digunakan sebagai jaminan dalam mendapatkan kredit dari perbankan. (SRY)